MOTTO PASKIBRA
PASKIBRA ...
Tidak takut salah ...
Tidak takut kalah ...
Tidak takut jatuh ...
Tidak takut mati ...
Takut mati jangan hidup ...
Takut hidup mati sekalian ...
PASKIBRA ...
Tidak takut salah ...
Tidak takut kalah ...
Tidak takut jatuh ...
Tidak takut mati ...
Takut mati jangan hidup ...
Takut hidup mati sekalian ...
1. Pakaian Dinas Harian (PDH)
2. Pakaian Dinas Latihan (PDL)
3. Pakaian Dinas Kotak – kotak (PDK)
4. Pakaian Dinas Upacara (PDU)
5. Pakaian Dinas Lomba
Catatan : Semua anggota dan pengurus Paskibra wajib memiliki PDH dan PDL
1. Pelantikan Capas menjadi anggota Paskibra
2. Pelantikan anggota Paskibra menjadi Junior (Latihan Kepemimpinan)
3. Pelantikan Junior menjadi Senior
TATA TERTIB PESERTA PELANTIKAN
1. Dilarang menyalakan api sembarangan
2. Peserta wajib mengikuti kegiatan yang diadakan oleh panitia kecuali ada izin dari panitia.
3. Peserta tidak boleh meninggalkan perkemahan/base camp tanpa seizing panitia.
4. Peserta putra dilarang memasuki tenda atau areal putrid dan sebaliknya.
5. Dilarang membuat gaduh perkemahan tanpa izin.
6. Peserta dilarang merokok dan minum-minuman keras.
7. Peserta harus menyediakan air untuk keperluannya sendiri dan untuk keperluan regu.
8. Peserta wajib menjaga kebersihan, keamanan, keindahan, base camp dan adanya pergaulan yang sopan.
9. Peserta wajib menjaga ketenangan dalam beribadah.
10. Peserta harus menghabiskan makanan yang telah disediakan oleh panitia.
11. Peserta tidak boleh membeli makanan.
12. Peserta dilarang membawa perhiasan yang berlebihan
13. Peserta dilarang membawa alat komunikasi HP dan sejenisnya.
14. Peserta yang akan menerima tamu harus meminta izin ke panitia.
15. Setiap peserta yang melanggar segala ketentuan yang diadakan oleh panitia akan dikenakan sangsi,
Kepada Pembina upacara – H o r m a t = GERAK
• Pasukan satu – L a n g k a h t e g a p m a j u = JALAN
• Semua pasukan – B e r h i t u n g = MULAI
E. Macam-Macam Gerakan dalam Baris-Berbaris
1. Gerak di tempat
1). Sikap sempurna 6). Hadap Kanan/kiri
2). Istirahat di tempat 7). Balik Kanan
3). Parade Istirahat 8). Hadap serong kanan/kiri
4). Lencang kanan/kiri 9). Jalan ditempat
5). Lencang depan 10). Hormat bendera/Pembina
2. Gerak meninggalkan tempat
1). Langkah tegap, langkah biasa, langkah parade
2). Langkah ke kanan/kiri/ke depan / ke belakang
3). Langkah lari
4). Haluan Kanan/kiri
3. Bentuk barisan
1). Bentuk bersaf : X X X X X X X X X X X X 2). Bentuk Berbanjar X X X X
X X X X X X X X X X X X X X
X X X X X X X X X X X X X X
X X X
X X X
4. Macam-macam Langkah
a. Langkah tegap panjangnya 70 cm tempo 96 tiap menit
b. Langkah biasa panjangnya 70 cm tempo 96 tiap menit
c. Laangkah perlahan panjangnya 40 cm tempo 80 tiap menit
d. Langkah ke depan panjangnya 60 cm tempo 70 tiap menit
e. Langkah ke belakang panjangnya 40 cm tempo 70 tiap menit
f. Langkah ke samping kanan/kiri panjangnya 40 cm tempo 70 tiap menit
g. Langkah diwaktu lari panjangnya 80 cm tempo 165 tiap menit
F. Penjelasan Gerakan Dasar
1. Sikap Sempurna
Aba-aba : S i a p = GERAK
Pelaksanaan : Badan berdiri tegap, kedua tumit rapat kedua kaki
membentuk sudut 45o, lutut lurus dan paha dirapatkan, perut ditarik
sedikit dada dibusungkan, jari tangan menggenggam, punggung ibu jari
menghadap ke depan merapat pada jahitan celana, leher lurus, mulut
ditutup, mata memandang lurus ke depan.
2. Istirahat
Aba-aba : Istirahat – d i- t e m p a t = GERAK
Pelaksanaan : Kaki kiri dipindahkan ke samping kiri (± 30 cm), kedua
belah lengan dibawa ke belakang di bawah pinggang, punggung tangan kanan
di atas telapak tangan kiri, tangan kanan dikepalkan, tangan kiri
memegang pergelangan tangan kanan di antara ibu jari dan telunjuk.
Aba-aba terakhir : S i a p = GERAK
3. Jalan di tempat
Aba-aba : J a l a n d I t e m p a t = GERAK
Pelaksanaan : Gerakan dimulai dengan kaki kiri , lutut berganti-ganti
diangkat sehingga paha rata-rata air (horizontal). Badan tegap pandangan
mata tetap ke depan, lengan dirapatkan pada badan tidak dilenggangkan.
4. Lencang kanan/kiri (hanya dalam bentuk bersaf)
Aba-aba : L e n c a n g k a n a n / k i r i = GERAK
Pelaksanaan : Pasukan dalam keadaan sikap sempurna, , mengangkat lengan
kanan/kiri ke samping kanan/kiri , jari-jari tangan menggenggam,
punggung tangan menghadap ke atas, kepala dipalingkan ke kanan/kiri,
kecuali penjuru kanan/kiri tetap ke depan.
Aba-aba terakhir : T e g a k = GERAK
5. Setengah Lencang Kanan/Kiri
Aba-aba : S e t e n g a n l e n c a n g K a n a n / K i r i = GERAK
Pelaksanaan : Pasukan dalam keadaan sikap sempurna, seperti lencang
kakana/kiri tapi tangan kanan/kiri dipinggang dengan siku menyentuh
lengan disebelahnya, pergelangan lurus, ibu jari disebelah belakang dan
empat jarinya rapat satu dengan yang lainnya di sebelah depan.
Aba-aba terakhir : T e g a k = GERAK
6. Lencang depan (hanya dalam bentuk berbanjar)
Aba-aba : L e n c a n g d e p a n = GERAK
Pelaksanaan : penjuru tetap sikap sempurna, banjar kanan nomor dua dan
seterusnya meluruskan ke depan dengan mengangkat tangan, Jika berbanjar
tiga maka saf terdepan mengambil satu lengan/ setengah lengan disamping
kanan. Anggota yang berada di banjar tengah dan kiri melaksanakan tanpa
mengangkat tangan.
Aba-aba terakhir : T e g a k = GERAK
7. Hadap Kanan/kiri
Aba-aba : H a d a p k a n a n / k i r i = GERAK
Pelaksanaan : Kaki kiri/kanan diajukan melintang kedepan kaki
kanan/kiri, lekuk kaki kiri/kanan berada diujung kaki kanan. Tumit kaki
kanan/kiri dengan badan diputar ke kanan/kiri 90o, kaki kiri/kanan
dirapatkan kembali ke kanan/kiri seperti dalam keadaan sikap sempurna
8. Hadap serong kanan/kiri
Aba-aba : H a d a p s e r o n g k a n a n / k i r i = GERAK
Pelaksanaan : Sama dengan hadap kanan/kiri, bedanya tumik kaki kanan/kiri dan badan diputar 45o ke kanan/kiri
9. Balik Kanan
Aba-aba : B a l i k k a n a n = GERAK
Pelaksanaan : Kaki kiri diajukan melintang (lebih dalam dari hadap
kanan) di depan kaki kanan. Tumit kaki kanan beserta dengan badan
diputar 180o. kaki kiri dirapatkan ke kaki kanan seperti dalam keadaan
sikap sempurna.
10. Hormat
Aba-aba : H o r m a t = GERAK
Aba-aba terakhir : T e g a k = GERAK
Pelaksanaan : Hormat pada Pembina posisi tangan merapat telapak tangan
menutup ke bawah, punggung tangan diperlihatkan, posisi sudut 450
Hormat pada bender merah putih, pelaksanaan sama dengan hormat pada Pembina, posisi sudut 900.
11. Periksa Kerapihan
Aba-aba : P e r i k s a k e r a p i h a n = MULAI
Pelaksanaan : Pasukan dalam keadaan istirahat, Pada aba-aba peringatan ,
pasukan serentak mengambil sikap sempurna, pada saat aba-aba
pelaksanaan dengan serentak membungkukkan badan dan mulai memeriksa atau
membetulkan perlengkapannya dari ujung kaki sanpai ke penutup kepala.
Jika sudah rapi, komando memberikan
Aba-aba terakhir = SELESAI, pasukan dengan serentak mengambil sikap istirahat.
12. Cara Berhitung
Aba-aba : H i t u n g = MULAI
Pelaksanaan : Jika bersaf, aba-aba peringatan penjuru tetap menghadap ke
depan, sedangkan anggota lainnya pada saf depan memalingkan muka ke
kanan , pada aba-aba pelaksanaan berturut-turut dari penjuru kanan
menyebut nomor sambil memalingkan muka ke depan. Jika berbanjar maka
semua dalam keadaan sikap sempurna Aba-aba terakhir dikomandoi pasukan
nomor terakhir S i a p = SELESAI
13. Bubar jalan dengan penghormatan
Aba-aba : B u b a r = JALAN
Pelaksanaan : Pada aba-aba pelaksanaan setiap pasukan memberikan
penghormatan kepada komando/pimpinan sesudah dibalas kembali dalam sikap
sempurna kemudian “balik kanan”.
14. Bubar jalan tanpa penghormatan
Aba-aba : Tanpa penghormatan - b u b a r = JALAN
Pelaksanaan : Semua pasukan langsung balik kanan dan bubar tanpa penghormatan terlebih dahulu.
15. Maju jalan
Aba-aba : M a j u = JALAN
Pelaksanaan : Pada aba-aba pelaksanaan kaki kiri diajukan ke depan,
lutut lurus, telapak kaki diangkat rata-rata tanah ± 20 cm, lengan kanan
ke depan 90o, lengan kiri 30o ke belakang dengan tangan menggenggam,
ibu jari menghadap ke atas. Pada saat melenggangkan tangan supaya jangan
kaku.
Seluruh anggota meluruskan barisan ke depan dengan melihat pada belakang leher.
DILARANG KERAS : BERBICARA, MELIHAT KE KIRI/ KE KANAN, MENUNDUKKAN KEPALA.
16. Langkah biasa
Aba-aba : L a n g k a h b i a s a = JALAN
Pelaksanaan : Cara melankahkan kaki seperti pada waktu berjalan biasa.
Pertama tumit diletakkan ke tanah selanjutnya seluruh kaki. Lengan
dilenggangkan ke depan 45o dank e belakang 30o. ibu jari menghadap ke
atas. Lengan dilemaskan
17. Langkah tegap
Aba-aba : Langkah tegap – M a j u = JALAN
Pelaksanaan : Mulai berjalan dengan kaki kiri, langkah pertama selebar
satu langkah, selanjutnya seperti jalan biasa (panjang dan tempo
sesuaikan) dengan cara kaki dihentakkan terus menerus tetapi tidak
dengan berlebihan, telapak kaki rapat dan sejajar dengan tanah, kai
tidak boleh diangkat tinggi. Tangan menggenggam, punggung tangan
menghadap ke samping luar, ibu jari tangan menghadap ke atas. Lenggang
lengan ke depan 90o, lenggang lengan ke belakang 30o.
18. Langkah perlahan (mengantar jenazah dalam upacara kemiliteran)
Aba-aba : Langkah perlahan - M a j u = JALAN
Pelaksanaan : gerakan dilakukan dengan sikap sempurna, pada aba-aba
JALAN kaki kiri dilangkahkan ke depan, setelah kaki kiri menapak ditanah
segera disusul kaki kanan ditarik ke depan dan ditahan sebentar
disebelah mata kaki kiri, kemudian dilanjutkan dirapatkan di depan kaki
kiri.
19. Langkah ke kanan/kiri (maksimal 4 langkah)
Aba-aba : ………..L a n g k a h k e k a n a n / k I r i = JALAN
Pelaksanaan : Pada aba-aba pelaksanaan kaki kanan/kiri di langkahkan ke
samping kanan/kiri sepanjang ± 40 cm. selanjutnya kaki kiri/kanan
dirapatkan pada kaki kanan/kiri hingga kembali ke bentuk sikap sempurna.
20. Langkah ke belakang (maksimal 4 langkah)
Aba-aba : ……….L a n g k a h k e b e l a k a n g = JALAN
Pelaksanaan : kaki kiri di langkahkan ke belakang. Tangan tidak boleh dilenggangkan dan sikap badan sempurna.
21. Langkah ke depan (maksimal 4 langkah)
Aba-aba : ………... L a n g k a h k e d e p a n = JALAN
Pelaksanaan : Kaki kiri melangkah ke depan , panjang langkah 60 cm.
gerakan kaki seperti langkah tegap dan dihentakkan . lengan tidak boleh
dilenggangkan dan sikap seperti sikap sempurna.
22. Haluan kanan/kiri
Aba-aba : H a l u a n k a n a n / k I r i = JALAN
Pelaksanaan : Dilakukan pada saat pasukan sedang berjalan. Haluan
kanan/kiri, pasukan paling kanan/kiri dijadikan poros, gerakan kaki
jalan ditempat dan secara perlhan haluan ke kanan/kiri, pasukan tengah
jalan biasa tidak terlalu cepat, pasukan paling kiri/kanan melangkah
cepat menyesuaikan tempo gerakan teman disebelahnya.
Keterangan : Nomor 1-10 aba-aba pelaksanaan adalah GERAK
Nomor 11-12 aba-aba pelaksanaan adalah MULAI
Nomor 13-22 aba-aba pelaksanaan adalah JALAN
Catatan : Jika komandan/pimpinan salah dalam memberikan aba-aba, maka pasukan serentak menjawab S i a p = ULANGI
SA : Salam artinya mengucapkan salam apabila bertemu
TO : Tolong artinya saling tolong menolong sesama capas atau kepada organisasi lain
TE : Terima kasih artinya mengucapkan terima kasih apabila di beri sesuatu oleh senior baik hadiah maupun sangsi.
MA : Maaf artinya mengucapkan maaf apabila melakukan kesalahan peraturan dan tata tertib yang ada pada Paskibra.
Burung
garuda sejenis dengan rajawali. Tapi, garuda merupakan tokoh rekaan
yang hanya ada dalam dunia wayang atau dongeng. Tokoh garuda muncul
dalam epos Ramayana dan cerita Garudeya. Bagaimana sejarahnya hingga ia
jadi lambang negara kita?
Baik elang maupun rajawali merupakan burung
perkasa yang sering dijadikan lambang negara. Sejak tahun 1989
misalnya, pemerintah DKI Jakarta menetapkan elang bondol sebagai lambang
Kota Jakarta.
Selain elang bondol, ada pula burung rajawali
Haliaetus leucocephalus atau elang besar yang menjadi lambang Amerika
Serikat karena penampilannya yang perkasa, dan ukurannya yang besar. Di
Eropa ada juga rajawali laut berekor putih. Tubuhnya lebih kekar, dengan
bentangan sayap 2,5 m. Kebasan sayap burung ini memiliki kekuatan yang
luar biasa. Kalau sedang berburu mangsa, ia terbang tanpa kebasan sayap.
Dari tempat yang tinggi, ia berputar-putar melingkar, lalu menukik
pesat ke arah mangsa seraya mendorongkan kuku kakinya ke depan.
Kehebatan inilah yang mendorong warga Jerman memilih rajawali laut
berekor putih sebagai lambang negara, hingga saat ini.
Kisah
kegagahan rajawali laut berekor putih itu pun tersebar sampai ke pantai
barat India. Keperkasaannya menerkam ulang juga terdengar oleh para
pujangga India di masa lalu. Maka, dalam cerita-cerita yang mereka buat,
burung rajawali pun tampil sebagai Resi Garuda, yakni makhluk berkepala
burung dan bertubuh manusia. Menurut cerita, burung garuda itu
merupakan kendaraan yang biasa dipergunakan Batara Wisnu.
Dari
mitos India inilah, para pujangga Jawa zamannya Dharmawansa
Anantawikrama Uttunggadewa mengenal dan menyebarkan nama garuda di Jawa
Timur tahun 991-1016. Meskipun tidak melihat sendiri wujud burung itu,
mereka berhasil membayangkan dan mengabadikannya dalam pahatan relief
Candi Kedaton dan Kidal.
Kemudian, garuda yang setengah orang
setengah burung diabadikan lebih nyata sebagai arca Airlangga (titisan
Wisnu) di Candi Belahan. Dan, sejak proklamasi kemerdekaan RI tahun
1945, burung garuda dilukiskan sebagai burung rajawali seutuhnya.
Kepalanya pun menengok ke kanan seperti semua lambang elang negara lain.
Tapi, ia membawa perisai berisi lambang-lambag Pancasila. Sobat-sobat
sudah tahu, kan, jumlah bulu sayapnya 17, bulu ekornya 8, bulu ekor di
bawah perisai 19, dan bulu kecil di lehernya 45. Ini sangat tepat dengan
hari lahir Republik Indonesia. Kakinya merentang spanduk Jawa Kuno,
"Bhineka Tunggal Ika", yang berarti beraneka ragam tapi tetap satu…
Kemudian
dari rujutan sejarah dalam catatan yang pernah saya pelajari bahwa
hampir semua orang tahu itu. Namun hanya sebagian orang saja yang
mengetahui siapa penemunya dan bagaimana kisah hingga menjadi lambang
kebanggaan negara ini.
Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk,
dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama
jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan,
merancang dan merumuskan gambar lambang negara.Dia lah Sultan Hamid II
yang berasal dari Pontianak.
Dia teringat ucapan Presiden
Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup
bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara,
yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Tanggal 10
Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara
di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II
dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro,
M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota.
Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk
dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Merujuk keterangan Bung Hatta
dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang
Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua
rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M
Yamin.
Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR
RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena
menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.
Setelah
rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II),
Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus
dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi
kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang
semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan
semboyan “Bhineka Tunggal Ika”.
Tanggal 8 Februari 1950,
rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan
Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang
negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk
dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda
dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap
bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan
gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang
berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila.
Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan
rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana
menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep
Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya
Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet
RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih
“gundul” dan “tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya
kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan
kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri
Negara RIS.
Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk
pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des
Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang
negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila
yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang
mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke
depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret
1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat
disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana,
Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final
rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara
resmi sampai saat ini…
a. Bendera Indonesia ditengah
b. Bendera Indonesia lebih tinggi
c. Bendera Indonesia tiangnya lebih tinggi dari bendera Lain
d. Bendera Indonesia tidak boleh dipasang silang dengan bendera lain
Kegiatan manusia secara bersama-sama selalu membutuhkan kepemimpinan.
Untuk berbagai usaha dan kegiatannya diperlukan upaya yang terencana dan
sistematis dalam melatih dan mempersiapkan pemimpin baru. Oleh karena
itu, banyak studi dan penelitian dilakukan orang untuk mempelajari
masalah pemimpin dan kepemimpinan yang menghasilkan berbagai teori
tentang kepemimpinan. Teori kepemimpinan merupakan penggeneralisasian
suatu seri perilaku pemimpin dan konsep-konsep kepemimpinannya, dengan
menonjolkan latar belakang historis, sebab-sebab timbulnya kepemimpinan,
persyaratan pemimpin, sifat utama pemimpin, tugas pokok dan fungsinya
serta etika profesi kepemimpinan (Kartini Kartono, 1994: 27).
Teori
kepemimpinan pada umumnya berusaha untuk memberikan penjelasan dan
interpretasi mengenai pemimpin dan kepemimpinan dengan mengemukakan
beberapa segi antara lain : Latar belakang sejarah pemimpin dan
kepemimpinan Kepemimpinan muncul sejalan dengan peradaban manusia.
Pemimpin dan kepemimpinan selalu diperlukan dalam setiap masa.
Sebab-sebab munculnya pemimpin Ada beberapa sebab seseorang menjadi
pemimpin, antara lain:
a. Seseorang ditakdirkan lahir untuk menjadi
pemimpin. Seseorang menjadi pemimpin melalui usaha penyiapan dan
pendidikan serta didorong oleh kemauan sendiri.
b. Seseorang menjadi
pemimpin bila sejak lahir ia memiliki bakat kepemimpinan kemudian
dikembangkan melalui pendidikan dan pengalaman serta sesuai dengan
tuntutan lingkungan.
Untuk mengenai persyaratan kepemimpinan selalu dikaitkan dengan kekuasaan, kewibawaan, dan kemampuan.
Teori-teori dalam Kepemimpinan
Teori
kepemimpinan dikelompokkan menjadi lima kategori yaitu Teori Traits
Model of Leadership, Teori Model of Situasional Leadership, Teori Model
of Effective Leaders, Teori Contingency Model, dan Teori Model of
Transformational Leadership. Penjelasan dari masing-masing teori
tersebut dapat anda simak dalam pembahasan berikut:
1. Teori Traits Model of Leadership
Pada
umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba meneliti
tentang watak individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti
misalnya: kecerdasan, kejujuran, kematangan, ketegasan, kecakapan
berbicara, kesupelan dalam bergaul, status sosial ekonomi mereka dan
lain-lain. Terdapat enam kategori faktor pribadi yang membedakan antara
pemimpin dan pengikut, yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab,
partisipasi, status dan situasi. Namun demikian banyak studi yang
menunjukkan bahwa faktor-faktor yang membedakan antara pemimpin dan
pengikut dalam satu studi tidak konsisten dan tidak didukung dengan
hasil-hasil studi yang lain. Disamping itu, watak pribadi bukanlah
faktor yang dominant dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial
para pemimpin. Hingga tahun 1950-an, lebih dari 100 studi yang telah
dilakukan untuk mengidentifikasi watak atau sifat personal yang
dibutuhkan oleh pemimpin yang baik, dan dari studi-studi tersebut
dinyatakan bahwa hubungan antara karakteristik watak dengan efektifitas
kepemimpinan, walaupun positif, tetapi tingkat signifikasinya sangat
rendah.
Bukti-bukti yang ada menyarankan bahwa "leadership is a
relation that exists between persons in a social situation, and that
persons who are leaders in one situation may not necessarily be leaders
in other situation" (Stogdill 1970). Apabila kepemimpinan didasarkan
pada faktor situasi, maka pengaruh watak yang dimiliki oleh para
pemimpin mempunyai pengaruh yang tidak signifikan. Kegagalan studi-studi
tentang kepimpinan pada periode awal ini, yang tidak berhasil
meyakinkan adanya hubungan yang jelas antara watak pribadi pemimpin dan
kepemimpinan, membuat para peneliti untuk mencari faktor-faktor lain
(selain faktor watak), seperti misalnya faktor situasi, yang diharapkan
dapat secara jelas menerangkan perbedaan karakteristik antara pemimpin
dan pengikut.
2. Teori Model of Situasional Leadership
Model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak kepemimpinan
dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan kepemimpinan. Studi
tentang
kepemimpinan situasional mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi
atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin
berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan
efisien. Dan juga model ini membahas aspek kepemimpinan lebih
berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak kepribadian
pemimpin.
Hencley (1973) menyatakan bahwa faktor situasi lebih
menentukan keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan dengan watak
pribadinya. Menurut pendekatan kepemimpinan situasional ini, seseorang
bisa dianggap sebagai pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi
atau keadaan yang dihadapi. Banyak studi yang mencoba untuk
mengidentifikasi karakteristik situasi khusus yang bagaimana yang
mempengaruhi kinerja para pemimpin. Hoy dan Miskel (1987), misalnya,
menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kinerja
pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural properties of
the organisation), iklim atau lingkungan organisasi (organisational
climate), karakteristik tugas atau peran (role characteristics) dan
karakteristik bawahan (subordinate characteristics). Kajian model
kepemimpinan situasional lebih menjelaskan fenomena kepemimpinan
dibandingkan dengan model terdahulu. Namun demikian model ini masih
dianggap belum memadai karena model ini tidak dapat memprediksikan
kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang mana yang lebih efektif
dalam situasi tertentu.
3. Teori Model of Effective Leaders
Model
kajian kepemimpinan ini memberikan informasi tentang tipe-tipe tingkah
laku (types of behaviours) para pemimpin yang efektif. Tingkah laku para
pemimpin dapat dikatagorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur
kelembagaan (initiating structure) dan konsiderasi (consideration).
Dimensi struktur kelembagaan menggambarkan sampai sejauh mana para
pemimpin mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka
pencapaian tujuan organisasi serta sampai sejauh mana para pemimpin
mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kelompok mereka. Dimensi ini
dikaitkan dengan usaha para pemimpin mencapai tujuan organisasi. Dimensi
konsiderasi menggambarkan sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja
antara pemimpin dan bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin
memperhatikan kebutuhan sosial dan emosi bagi bawahan seperti misalnya
kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan penghargaan yang
mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi ini
juga dikaitkan dengan adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan
komunikasi dua arah, partisipasi dan hubungan manusiawi (human
relations).
Halpin (1966), Blake and Mouton (1985) menyatakan
bahwa tingkah laku pemimpin yang efektif cenderung menunjukkan kinerja
yang tinggi terhadap dua aspek di atas. Mereka berpendapat bahwa
pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan
organisasinya secara sangat terstruktur, dan mempunyai hubungan yang
persahabatan yang sangat baik, saling percaya, saling menghargai dan
senantiasa hangat dengan bawahannya. Secara ringkas, model kepemimpinan
efektif ini mendukung anggapan bahwa pemimpin yang efektif adalah
pemimpin yang dapat menangani kedua aspek organisasi dan manusia
sekaligus dalam organisasinya.
4. Teori Contingency Model
Studi
kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara
karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan
variabel-variabel situasional. Kalau model kepemimpinan situasional
berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang
berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang
lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau
variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja
pemimpin (Hoy and Miskel 1987).
Model kepemimpinan Fiedler
(1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut
beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja
kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style)
dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang
dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi
kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi
keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara
pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task
structure) dan kekuatan posisi (position power).
Hubungan antara
pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu
dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti
petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana
tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai
sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk
yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai
sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena
posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki
akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing.
Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya)
menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan,
promosi dan penurunan pangkat (demotions).Model kontingensi yang lain,
Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh
interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi
(House 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan
dalam 4 kelompok: supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap
kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat),
directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan
peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership
(konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan) dan
achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang
menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan).
MenurutPath-Goal
Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas
pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan
lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur
yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih
sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek
kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat
menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling
efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel
situasional.
5. Teori Model of Transformational Leadership
Model
kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam
studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas
yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional.
Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model
kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan
model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan
pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin
transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu
menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai
tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung
memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi.
Kepemimpinan atau leadership merupakan ilmu terapan dari ilmu-ilmu
social, sebab prinsip-prinsip dan rumusannya diharapkan dapat
mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan manusia (Moejiono, 2002). Ada
banyak pengertian yang dikemukakan oleh para pakar menurut sudut pandang
masing-masing, definisi-definisi tersebut menunjukkan adanya beberapa
kesamaan.
· Menurut Tead; Terry; Hoyt (dalam Kartono,
2003) Pengertian Kepemimpinan yaitu kegiatan atau seni mempengaruhi
orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang
tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang
diinginkan kelompok.
· Menurut Young (dalam Kartono, 2003)
Pengertian Kepemimpinan yaitu bentuk dominasi yang didasari atas
kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk
berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan
memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus.
·
Moejiono (2002) memandang bahwa leadership tersebut sebenarnya sebagai
akibat pengaruh satu arah, karena pemimpin mungkin memiliki
kualitas-kualitas tertentu yang membedakan dirinya dengan pengikutnya.
Para ahli teori sukarela (compliance induction theorist) cenderung
memandang leadership sebagai pemaksaan atau pendesakan pengaruh secara
tidak langsung dan sebagai sarana untuk membentuk kelompok sesuai dengan
keinginan pemimpin (Moejiono, 2002).
Dari beberapa definisi
diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpnan merupakan kemampuan
mempengaruhi orang lain, bawahan atau kelompok, kemampuan mengarahkan
tingkah laku bawahan atau kelompok, memiliki kemampuan atau keahlian
khusus dalam bidang yang diinginkan oleh kelompoknya, untuk mencapai
tujuan organisasi atau kelompok.
ahap latihan baris berbaris adalah sebagi berikut :
Keberhasilan
latihan baris berbaris sangat tergantung pada kualitas dan kesanggupan
seorang pelatih. Pelatih yang melatih hanya karena tugas tidak akan bisa
mencapai hasil yang sempurna. Pelatih baris berbaris harus mempunyai
kemampuan ilmu melatih sesuai peraturan peraturan yang berlaku dan
kemampuan psikologis untuk mengerti kemampuan anak didiknya. Pelatih
yang berkualitas harus mempunyai dasar-dasar melatih dan mempersiapkan
segala sesuatunya dengan sebaik-baiknya antara lain :
Karena yang mengeluarkan peraturan baris berbaris adalah militer maka dengan dasar itu pelatih Paskibraka diambil dari instansi militer karena dianggap lebih memahami peraturan tersebut dan dapat memberikan ilmu baris berbaris sesuai peraturan yang berlaku. Didalam perkembangannya pelatih disekolah banyak yang melibatkan para purna paskibraka untuk melatih baris berbaris, namun harus dipahami bahwa siapapun yang memberikan latihan baris berbaris baik dari unsur militer maupun sipil/purna paskibraka semuanya harus berpedoman pada Peraturan Baris Berbaris yang berlaku.
Peraturan baris berbaris diseluruh Indonesia hanya mengacu pada Peraturan Baris Berbaris Militer yang terdapat dalam Buku Peraturan tentang Baris Berbaris Angkatan Bersenjata. Buku ini disahkan oleh Surat Keputusan Pangab dan peraturan yang terakhir adalah Skep Pangab nomor : Skep/611/X/1985 tanggal 8 Oktober, tetapi tahun 1992 ada perubahan pada Skep tersebut pada tempo langkah biasa dan langkah tegap dari 96 langkah tiap menit menjadi 120 langkah tiap menit.
Bendera Indonesia memiliki makna filosofis. Merah berarti berani,
putih berarti suci. Merah melambangkan raga manusia, sedangkan putih
melambangkan jiwa manusia. Keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan
jiwa dan raga manusia untuk membangun Indonesia.
Ditinjau dari segi sejarah, sejak dahulu kala kedua warna merah dan
putih mengandung makna yang suci. Warna merah mirip dengan warna gula
jawa (gula aren) dan warna putih mirip dengan warna nasi. Kedua bahan
ini adalah bahan utama dalam masakan Indonesia, terutama di pulau Jawa. Ketika Kerajaan Majapahit
berjaya di Nusantara, warna panji-panji yang digunakan adalah merah dan
putih (umbul-umbul abang putih). Sejak dulu warna merah dan putih ini
oleh orang Jawa digunakan untuk upacara selamatan kandungan bayi sesudah
berusia empat bulan di dalam rahim berupa bubur yang diberi pewarna
merah sebagian. Orang Jawa percaya bahwa kehamilan dimulai sejak
bersatunya unsur merah sebagai lambang ibu, yaitu darah yang tumpah
ketika sang jabang bayi lahir, dan unsur putih sebagai lambang ayah,
yang ditanam di gua garba.
Warna merah-putih bendera negara diambil dari warna panji atau pataka Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur pada abad ke-13.[1]
Akan tetapi ada pendapat bahwa pemuliaan terhadap warna merah dan putih
dapat ditelusuri akar asal-mulanya dari mitologi bangsa Austronesia
mengenai Bunda Bumi dan Bapak Langit; keduanya dilambangkan dengan
warna merah (tanah) dan putih (langit). Karena hal inilah maka warna
merah dan putih kerap muncul dalam lambang-lambang Austronesia — dari
Tahiti, Indonesia, sampai Madagaskar. Merah dan putih kemudian digunakan untuk melambangkan dualisme alam yang saling berpasangan.[2] Catatan paling awal yang menyebut penggunaan bendera merah putih dapat ditemukan dalam Pararaton; menurut sumber ini disebutkan balatentara Jayakatwang dari Gelang-gelang mengibarkan panji berwarna merah dan putih saat menyerang Singhasari. Hal ini berarti sebelum masa Majapahit pun warna merah dan putih telah digunakan sebagai panji kerajaan, mungkin sejak masa Kerajaan Kediri.
Pembuatan panji merah putih pun sudah dimungkinkan dalam teknik
pewarnaan tekstil di Indonesia purba. Warna putih adalah warna alami
kapuk atau kapas katun yang ditenun menjadi selembar kain, sementara zat
pewarna merah alami diperoleh dari daun pohon jati, bunga belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi), atau dari kulit buah manggis.
Sebenarnya tidak hanya kerajaan Majapahit saja yang memakai bendera
merah putih sebagai lambang kebesaran. Sebelum Majapahit, kerajaan
Kediri telah memakai panji-panji merah putih. Selain itu, bendera perang
Sisingamangaraja IX dari tanah Batak pun memakai warna merah putih
sebagai warna benderanya , bergambar pedang kembar warna putih dengan
dasar merah menyala dan putih. Warna merah dan putih ini adalah bendera
perang Sisingamangaraja XII. Dua pedang kembar melambangkan piso gaja
dompak, pusaka raja-raja Sisingamangaraja I-XII.[3]
Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang – pejuang Aceh telah menggunakan
bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di
bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan
bintang serta beberapa ayat suci Al Quran.[4]
Di zaman kerajaan Bugis Bone,Sulawesi Selatan sebelum Arung Palakka,
bendera Merah Putih, adalah simbol kekuasaan dan kebesaran kerajaan
Bone.Bendera Bone itu dikenal dengan nama Woromporang.[5]
Panji kerajaan Badung yang berpusat di Puri Pamecutan juga mengandung
warna merah dan putih, panji mereka berwarna merah, putih, dan hitam[6] yang mungkin juga berasal dari warna Majapahit.
Pada waktu perang Jawa (1825-1830 M) Pangeran Diponegoro memakai
panji-panji berwarna merah putih dalam perjuangannya melawan Belanda.
Kemudian, warna-warna yang dihidupkan kembali oleh para mahasiswa dan
kemudian nasionalis di awal abad 20 sebagai ekspresi nasionalisme
terhadap Belanda. Bendera merah putih digunakan untuk pertama kalinya di Jawa
pada tahun 1928. Di bawah pemerintahan kolonialisme, bendera itu
dilarang digunakan. Bendera ini resmi dijadikan sebagai bendera nasional
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, ketika kemerdekaan diumumkan dan resmi digunakan sejak saat itu pula. [7]
Bendera Negara Republik Indonesia, yang secara singkat disebut Bendera Negara, adalah Sang Saka Merah Putih (bendera asli jahitan tangan ibu Fatmawati), Sang Merah Putih, Merah Putih, atau kadang disebut Sang Dwiwarna (dua warna). Bendera Negara Sang Merah Putih berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua-pertiga) dari panjang serta bagian atas berwarna merah dan bagian bawah berwarna putih yang kedua bagiannya berukuran sama.
Pada dasarnya Paskibraka terdiri
dari 3 tingkatan, yaitu tingkat Kota/Kabupaten, Provinsi, dan Nasional.
Untuk tingkat Kota/Kabupaten yaitu melaksanakan tugas di Kota asal Paskibraka
tersebut dengan inspektur upacara yaitu Walikota/setara. Pembentukan
Tingkat Provinsi yaitu diseleksi dari kota-kota pada provinsi tersebut
dan akan diutus ke ibukota provinsi dari kota-kota di provinsi daerah
asal, Paskibraka pada tingkat ini
melaksanakan tugas di ibukota Provinsi dengan inspektur upacara yaitu
Gubernur/setara. Dan yang akhir yaitu tingkat Nasional yaitu Paskibraka yang diseleksi dari seluruh provinsi di Indonesia yang tiap-tiap provinsi akan mengutus satu putra dan satu putri terbaik dan tingkat ini melaksanakan tugas di Istana Negara atau Istana Merdeka Jakarta, dengan inspektur upacara yaitu Presiden Republik Indonesia. Paskibraka
dibagi menjadi dua tugas yaitu pasukan yang melakukan tugas pagi
sebagai pengibar bendera dan tugas sore sebagai pasukan penurunan
bendera.
Formasi khusus Paskibraka yaitu:
Paskibraka diawali dengan seleksi dari tingkat Kota/Kabupaten pada bulan Maret dan April, kemudian yang lolos ke tingkat Caprov/NAS (Calon Provinsi-Nasional) akan diutus ke Paskibraka tingkat Provinsi, dan di tingkat Provinsi tersebut akan dilakukan seleksi untuk diutus ke tingkat Nasional dengan pasangan satu putri dan satu putra terbaik. Menjelang 17 Agustus biasanya seminggu sebelum 17 agustus atau lebih akan dilakukan Karantina untuk anggota calon Paskibraka yang akan bertugas pada HUT-RI, pada Karantina ini anggota calon Paskibraka ini ditempatkan di asrama, pada Karantina ini mereka berlatih terus menerus untuk penugasan dengan melakukan gladi bersih dan gladi kotor dan sehari sebelum 17 agustus mereka melakukan Pengukuhan yang jatuh pada 16 Agustus, dan keesokan harinya anggota Paskibraka melakukan penugasan pagi (pengibaran) dan sore (penurunan).
Purna Paskibraka Indonesia atau disingkat PPI merupakan organisasi atau nama bagi anggota yang telah bertugas sebagai Paskibraka dan bertugas menjadi panitia atau pengurus kegiatan Paskibra dan Paskibraka. Paskibra merupakan pasukan pengibar bendera yang tidak bertugas sebagai pengibar bendera pusaka di tingkat kota, provinsi, dan nasional, namun hanya bertugas di sekolah. Paskibra merupakan anggota yang mengikuti ekstra kurikuler Paskibra di sekolah tetapi tidak diutus untuk menjadi Paskibraka, anggota Paskibra yang telah mengikuti seleksi Paskibraka tetapi tidak lolos, dan/atau anggota yang mengikuti perlombaan baris-berbaris paskibra yang tidak diutus menjadi Paskibraka. Paskibraka merupakan pasukan pengibar bendera pusaka yang dimana anggotanya melakukan tugas pengibaran dan/atau penurunan bendera duplikat pusaka merah putih di tingkat kota, provinsi, dan nasional.
Paskibraka adalah singkatan dari Pasukan Pengibar Bendera dengan tugas utamanya mengibarkan duplikat bendera pusaka dalam upacara peringatan proklamasi kemerdekaan Indonesia
di 3 tempat, yakni tingkat Kabupaten/Kota (Kantor Bupati/Walikota),
Provinsi (Kantor Gubernur), dan Nasional (Istana Negara). Anggotanya
berasal dari pelajar SMA Sederajat kelas 1 atau 2. Penyeleksian
anggotanya biasanya dilakukan sekitar bulan April untuk persiapan pengibaran pada 17 Agustus.